Payakumbuh – Di tengah arus globalisasi, nilai-nilai universal seperti rasa syukur dan kebersamaan tetap relevan dan tercermin dalam berbagai tradisi budaya di seluruh dunia. Dua tradisi yang berbeda secara geografis, Thanksgiving di Amerika Serikat dan Badoa di Minangkabau, Sumatera Barat, menjadi contoh nyata bagaimana rasa syukur dapat diwujudkan dalam bentuk perayaan yang unik.
Setiap hari Kamis keempat di bulan November, keluarga di Amerika Serikat merayakan Thanksgiving sebagai ungkapan syukur atas panen dan berkah kehidupan. Tradisi ini berakar dari perayaan panen musim gugur tahun 1621 di Plymouth, Massachusetts, ketika kolonis Pilgrim dan suku Wampanoag berbagi hasil panen sebagai bentuk terima kasih. Presiden Abraham Lincoln secara resmi menetapkan Thanksgiving sebagai hari libur nasional tahunan pada tahun 1863. Sejak saat itu, Thanksgiving telah menjadi momen penting bagi keluarga Amerika untuk berkumpul, berbagi makanan, dan mengungkapkan rasa syukur.
Sementara itu, Badoa adalah tradisi makan bersama dalam budaya Minangkabau yang mencerminkan rasa syukur atas kelancaran acara, panen, kelahiran, atau berkah kehidupan. Dalam Badoa, masyarakat duduk melingkar di atas tikar dan menyantap nasi serta lauk dari satu dulang besar. Al Fatih, mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas, menjelaskan bahwa Badoa bukan sekadar makan, tetapi juga cerminan dari rasa syukur kepada Tuhan dan nilai-nilai adat. “Dalam Badoa, semua orang duduk setara, baik itu tua-muda, kaya-miskin. Selain itu Badoa juga cerminan dari rasa syukur kepada Allah. Itu cerminan nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” ujarnya.
Salma Fariska, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Andalas, menambahkan bahwa Thanksgiving juga memiliki nilai-nilai serupa dengan Badoa. “Lewat mata kuliah Introduction to American Cultur, saya belajar bahwa Thanksgiving adalah buday yang menghadirkan rasa kekeluargaan, saling berbagi cerita, dan menghargai apa yang dimiliki. Rasanya mirip dengan suasana Badoa di kampung saya hangat, tulus, dan penuh makna,” ungkapnya.
Kedua tradisi ini menekankan pentingnya kebersamaan, kerendahan hati, dan rasa syukur. Di tengah dunia yang semakin digital, momen-momen seperti ini menjadi pengingat bahwa manusia membutuhkan ruang nyata untuk saling bertemu, mendengar, dan berbagi. Baik Thanksgiving maupun Badoa menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal dapat terwujud dalam bentuk budaya yang berbeda, namun tetap saling melengkapi. Salma dan Fatih menyimpulkan, “Kita tak perlu memilih antara kalkun atau rendang. Keduanya bisa jadi simbol bahwa semuanya akan terasa lebih indah kalau kita mensyukuri hal-hal yang sudah diberikan oleh Tuhan.”